SPIONASE-NEWS.COM,- JENEPONTO – Di antara semua ibadah yang disyariatkan kepada umat Islam, puasa merupakan ibadah yang paling sangat privat. Ibadah puasa merupakan rahasia berdua antara seseorang dengan Allah. Hal ini berbeda dengan ibadah lainnya, di mana keterlibatan dan pengetahuan orang lain terlihat begitu jelas. Dalam ibadah salat misalnya, orang lain dapat melihat dengan jelas bagaimana kita salat, demikian pula ibadah yang lain seperti zakat dan haji. Berbeda dengan ibadah puasa, kalau kita berpura-pura puasa, orang lain tak akan tahu, tapi tentu saja Allah Maha Tahu. Pada sifatnya yang sangat privat dan rahasia inilah, ibadah puasa menjadi sangat istimewa. Ibadah puasa membentuk sisi kejiwaan yang sangat personal, yaitu keikhlasan, kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen.

Meskipun ibadah puasa bersifat sangat pribadi, namun di dalamnya mengandung ajaran-ajaran sosial yang penting untuk ditransformasikan dalam kehidupan sosial kita. Ibadah puasa adalah proses internalisasi nilai dasar keislaman yang berorientasi pada ketundukan dan kebahagiaan. Selanjutnya, puasa melatih jiwa untuk melakukan eksternalisasi dalam bentuk keselamatan dan rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Di snilah dua sisi puasa akan menjadi tampak dengan sangat jelas, ibadah puasa merupakan ritual dan motivasi simbolik yang mengantarkan seseorang untuk menjadi seimbang antara kesalehan individual yang sifatnya simbolik-ritualistik dan kesalehan sosial yang bernuansa sosiologis.

Hardianto Haris,
Ketua PSI Jeneponto

Ibadah puasa dalam simbol ritual menahan lapar, dahaga, dan nafsu seksual, merupakan madrasah ruhani yang mengajarkan manusia pada pelajaran ruhani tanpa melalui sebuah konsep yang sangat teoritik, tapi sebuah proses pembelajaran terlibat, sehingga pelajaran ruhani tersebut menginternalisasi dalam lubuk jiwa kita. Puasa akhirnya bukan sekadar menahan, melainan sebuah proses “menuhan” dengan menginternalisasi nilai-nilai Rabbani ke dalam diri dan nilai-nilai tersebut dieksternalisasi melalui pengkhidmatan kepada sesama. Dengan tetap menahan lapar, dahaga, dan nafsu seksual dari fajar hingga malam datang, kita diajarkan untuk melakukan semua itu, ikhlas karena Allah, karena seandainya untuk sesuatu selain Allah, maka kita akan gampang mengelabui manusia dengan mengesankan diri, bahwa kita sedang berpuasa. Ibadah puasa melatih kita untuk senantiasa jujur pada diri kita sendiri dan jujur pada Allah, dengan demikian kita akan mudah untuk jujur kepada orang lain. Selanjutnya puasa melatih jiwa untuk tetap tanggung jawab dan komitmen pada pilihan nilai yang kita anut.

Lebih dari sekadar latihan jiwa yang bersifat personal, dengan simbol ritualistik berupa lapar dan dahaga, puasa mengajarkan kita secara langsung untuk merasakan keperihan mereka yang tak berpunya. Saat Ramadhan, kita lapar dan dahaga karena sebuah pilihan, padahal kita memiliki banyak stok makanan dan minuman. Dengan itu, kita sejatinya diajak merenung untuk merasakan dan memikirkan derita saudara-sudara kita yang kelaparan dan tak berpunya. Dengan demikian, puasa melatih jiwa sosial kita untuk merasakan empati kemanusiaan yang mendalam dengan berbagi pada sesama.

Dalam puasa, Allah menjanjikan berbagai macam pahala yang berlimpah jika melakukan ritual-ritual tertentu, hal ini merupakan modus untuk membentuk kesalehan ritual yang bersifat pribadi. Namun, di pihak lain Allah juga memerintahkan kita untuk memberikan sedekah, memberi makan orang yang hendak berbuka puasa, menunaikan zakat, dan ibadah sosial lainnya. Hal tersebut merupakan simbolitas agar kita selain melakukan internalisasi kesalehan yang bersifat pribadi dan ritual, tapi juga memperhatikan aspek-aspek sosial. Itulah sebabnya, kata iman dalam Alquran senantiasa disandingkan dengan kata amal saleh. Iman merupakan simbol yang bersifat personal-ritual dan amal saleh merupakan simbol amal yang bersifat sosial dan bernuansa sosiologis. Simbolitas ini juga tampak, dengan disyariatkannya zakat, yang merupakan ibadah sosial sebagai pamungkas keseluruhan rangkaian ibadah Ramadhan. Ibadah zakat sebagai pamungkas, menunjukkan bahwa orientasi dari puasa Ramadhan adalah membentuk priabdi yang selalu ingat berbagi. Itulah pribadi yang “menuhan”, yaitu pribadi yang selalu memiliki kepedulian.

Berkali-kali Rasulullah saw menekankan bahwa indikator keimanan seseorang (kepada Allah dan hari akhir) adalah pada amalan yang bersifat sosial, seperti dalam sabda suci beliau saw. “Tidak beriman seseorang kepada Allah dan hari akhir jika ia tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya tidur dalam keadaan lapar”, “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya”, dan masih banyak hadis Rasul saw lainnya yang senada dengan itu. Dengan demikian, untuk mengukur keimanan dan kesalehan seseorang tidaklah cukup hanya dengan indikator kesalehan yang bersifat ritual saja. Bahkan kemuliaan seseorang diukur sejauh mana orang tersebut berkontribusi yang positif bagi orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasul saw, “sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada sesama manusia”.

(Hikmah Hari Kesepuluh)

Laporan : Agen Rustan Jentak

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here