Bulukumba, Spionase-news.com – Terserah tafsirannya seperti apa, saya hanya sedikit berkontemplasi atau beronani dengan perenungan dan pemikiran seputar carut marutnya sebuah kebijakan yang hanya berkutat pada simbol.

Mungkin ini masih lebih baik dibandingkan dengan hanya berdiam diri seakan menerima berbagai kejahatan yang bersifat struktural dan seluruh hal yang nyeleneh menyangkut pengelolaan tata pemerintahan yang keropos dan sedikit akut.

Ekspektasi kita terhadap pemimpin dalam rangka menuju arah baru yang lebih baik terbilang tinggi. Hal itu diperlihatkan oleh kelas menengah, misalnya, kepedulian mereka terhadap pemimpin berkualitas; visioner, bermoral, dan punya komitmen. Namun semuanya menjadi buyar takkala keberlangsungan tata kelola pemerintahan amburadul dan rawan manipulasi dalam berbagai tingkatan.

Munculnya aroma ketidakpercayaan, kecurigaan, keraguan dan kesangsian, menghiasi ruang publik. Lahirnya aneka pernyataan, protes, dan beberapa petisi oleh berbagai kelompok masyarakat terhadap pemerintah. Berbagai tuduhan tentang kebohongan, manipulasi, kepalsuan dan ketakjujuran menjadi perdebatan semantik dalam wacana pemerintahan mutakhir, yang memengaruhi persepsi, kesadaran, dan opini publik tentang makna kebijakan.

Ada kecurigaan publik bahwa selama ini bahwa kita ini hidup di alam demokrasi tak bertuan, di mana prinsip kekuasaan di tangan rakyat justru dimanipulasi oleh para elite yang, dengan memainkan aneka permainan kotor dan konsensus palsu, menyembunyikan kebenaran dari rakyat. Rakyat, yang sejatinya tuan dari sistem demokrasi, kini tak lain dari obyek demokrasi itu sendiri, yang suaranya tak pernah didengar, aspirasinya tak pernah disampaikan, dan keinginannya tak pernah diwujudkan.

Hal ini sangat beralasan oleh karena di dalamnya begitu banyak fakta ditutupi, konsensus diselubungi, dan kebenaran disembunyikan yang berakhir Dengan permainan kebenaran para elite, dengan memainkan bidak-bidak kepalsuan, manipulasi dan simulasi, serta memosisikan rakyat sebagai yang dihitung, tetapi tak masuk hitungan.

Rakyat diperlakukan sebagai populasi dan tubuh tak bernama. Mereka adalah surplus sosial yang dibangun oleh orang-orang tak punya kualifikasi untuk bersuara sehingga memerlukan wakil rakyat untuk menyuarakan aspirasinya. Kedaulatan rakyat selama ini tak lain dari kekuatan tanpa eksistensi, yaitu eksistensi suplemen dari mereka yang dihitung tetapi tak masuk hitungan, yang dibagi tetapi tak punya bagian, yang punya hak suara tetapi tak dapat bersuara.

Konsensus selama ini menjadi alat normalitas, yang melaluinya dibangun partisi antara apa yang diterima umum dan menjadi ukuran kualifikasi. Konsensus menyingkirkan yang tak umum ini dari ruang publik, sebagai bagian dari yang tak memiliki kualifikasi: itulah rakyat! Karena itu, konsensus kian membungkam suara rakyat yang tak umum itu. Esensinya adalah disensus, yaitu membuat tampak segala yang disembunyikan, menyuarakan segala yang dibungkam, menjadikan terang segala yang gelap. Esensi ini mengganggu yang umum sebagai produk konsensus palsu, dengan menampakkan apa yang disembunyikan dari kamar gelap, memberi nama apa yang tak bernama, dan membuat bersuara segala yang dibisukan.

Saya justru berfikir untuk melakukan langkah tandingan, kekuasaan rakyat tak sekadar ditunjukkan secara formal melalui hak suara (right to vote), tetapi lebih penting lagi hak bersuara (right to speak). Kepercayaan dibangun di antara penguasa dan yang dikuasai melalui mekanisme ”tekanan permanen” terhadap pemerintah, baik berupa demonstrasi, petisi, atau solidaritas kolektif, sebagai fungsi pengawasan, penyelidikan, penyingkapan, dan penilaian terhadap setiap tindakan mereka.

Saya berkontemplasi dan beronani pemikiran bahwa setidaknya, ada dua solusi yang dapat dijadikan sebagai alat untuk membendung penyakit “masuk angin” dan “hilang ingatan” di atas, sebelum menjadi akut untuk sekian tahun mendatang.

Pertama, dengan pendekatan patologik-terapeutik. Pada sisi ini, upaya yang mesti dilakukan adalah dengan mendiagnosa jenis penyakit ingatan tersebut, apakah terlampau banyak mengingat sesuatu ataukah secara sengaja melupakan. Jika hanya karena terlampau banyak mengingat, maka terapinya cukup dengan mengingatkan kembali. Namun, bila disebabkan oleh upaya melupakan dengan dengan sengaja, maka diagnosanya harus lebih menohok, keras dan sedikit mengancam.

Kedua, dengan pendekatan pragmatik. Bahwa tidak jarang persoalan “hilang-ingatan” juga disebabkan oleh banyaknya ingatan-ingatan lain. Dalam konteks ini, bila janji politik terlampau banyak, maka besar kemungkinannya akan terjadi proses hilang ingatan secara massif, atau lebih tegasnya, sengaja melupakan janji politik dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dalam sudut pandang psikoanalisis, hal ini disebabkan oleh kekeliruan individu dalam memosisikan identitas dirinya pasca menduduki jabatan politik. Buktinya, mereka memakzulkan identitas fungsionalnya seperti siapa saya? dan mengedepankan identitas personalnya seperti apa saya?. Akibatnya, terjadilah kesimpangsiuran atas sikap politisi yang akhirnya menjejakkan kesan negatif kepada publik bahwa politisi hanya mampu memberi janji, namun gagal menuai bukti.
Pada sisi hukum, boleh jadi sudah sesuai mekanisme.

Namun pada pertimbangan etis, jelas ini bagian dari problem “lupa-lupa ingat” yang mendekati penyakit “hilang ingatan”. Lupa dari mana asalnya, lalai akan janjinya, dan terakhir, kepekaan nuraninya tergores oleh kemewahan dan fasilitas Negara. (Hr)*

Penulis : Muhkrijil Hayyan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here